Minggu, 25 Desember 2016

Pancasila: Antara Antikuaris dan Monumentalis

INDONESIA merupakan bangsa dan negara dengan ideologi yang sangat tinggi, yakni Pancasila. Mujib Rohmat dalam makalahnya yang disajikan pada Seminar Nasional di Universitas Negeri Semarang, pada tanggal 29 oktober 2015 “Revitalisasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara di Era Globalisasi”, mengatakan bahwa Pancasila merupakan jantung bangsa Indonesia. Pancasila memiliki fungsi yang sangat strategis, yakni, menjadi dasar negara republik Indonesia, pandangan hidup bangsa, perjanjian luhur, sumber dari segala sumber hukum negara, serta sebagai moral pembangunan. Pancasila, yang terdiri dari lima sila, masing-masing memiliki makna yang berbeda, namun terlepas dari itu, nilai-nilai, baik nilai dalam hubungan vertikal maupun horisontal, tetap menjadi dasar perumusan Pancasila. Semangat serta Optimisme muncul dari benak para penggagas Pancasila (Soekarno, dkk), yang memiliki cita-cita tinggi akan terciptanya suatu bangsa dan negara yang ideal, sehingga tepat pada tanggal 18 agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia (sejarah kemerdekaan Indonesia), PPKI melaksanakan sidang untuk menetapkan tiga hal. Salah satu diantaranya adalah penetapan UUD Negara Republik Indonesia, yang di dalamnya, pada alinea ke VI, tercantum Pancasila sebagai dasar negara.

Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia memiliki keanekaragaman yang kompleks. Berbagai macam karakter, suku, warna kulit, ras, bahasa, kebudayaan, serta beribu pulau yang dibatsi oleh lautan, menjadi satu kesatuan yang utuh dalam sutau negara, Indonesia. Hal ini, juga menjadi salah satu faktor atau landasan dalam perumusan Pancasila dengan tujuan untuk meletakkan dasar pola pikir warga negara agar dapat mencapai tujuan bangsa dan negara. Adapun tujuan yang dimaksud, yang tertera dalam pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945, diantaranya, yakni melindungi segenap warga negara Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan abadi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila dijadikan sebagai ideologi bangsa dan negara, agar tujuan tersebut dapat tercapai, dengan tetap menjadikan ‘agama’ sebagai yang utama.

Pancasila sebagai Antikuaris atau Monumentalis?

Berbicara tentang Antikuaris dan Monumentalis, sebgaimana Nietzsche (1844-1900) dengan pandangannya mengenai sikap sejarah, mengatakan bahwa sikap Antikuaris memperlakukan sejarah hanya sebagai peninggalan ‘benda kuno’ atau sebagai ‘barang antik’. Sementara sikap Monumentalis percaya bahwa dalam sejarah, telah tercatat sebuah fenomena kebesaran dan keagungan. Namun, sikap Monumentalis tidak hanya sekedar ‘memonumenkan’ sejarah, akan tetapi sikap ini sesungguhnya adalah suatu upaya untuk menciptakan kembali keberaran dan keagungan (realitas primordial) di masa kini. Kemudian, lebih lanjut Nietzsche, bahwa sikap Monumentalis harus disertai dengan sikap kritis. Demikian, karena sikap kritis akan mampu menggali kekuatan progresif yang tersimpan dalam sejarah. Jelas, di sini terdapat perbedaan yang signifikan antara Antikuaris dan Monumentalis.

Pancasila, tidak lain adalah sebuah dokumen sejarah yang dititipkan oleh para pencetusnya, yang memiliki nilai-nilai luhur serta meyiratkan harapan besar akan terciptanya suatu bangsa dan negara yang ideal, merupakan suatu kewajiban bagi generasi penerus untuk menciptakan kembali secara terus-menerus, atau melanjutkannya dalam rangka menwujudkan cita-cita bangsa dan negara seperti yang tertuang dalam Pancasila itu sendiri. Adapun mengenai keberhasilan sejarah, pastinya membutuhkan pendukung yang kuat dan penting, yaitu ‘Mitos’, yang kemudian menjadi model utama. Menurut Mircea Eliade, Mitos merupakan dasar kehidupan sosial dan kebudayaan manusia ‘religius’. Mitos merupakan suatu sejarah tentang sesuatu yang terjadi pada masa lampau (in illo tempore). Demikian, kita bangsa Indonesai dengan budaya yang khas Timur, sangat identik dengan nilai-nilai religius yang tinggi. Artinya, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang dihuni oleh manusia-manusia 'religius' itu. Di sisi lain, oleh Sunarto, bahwa ‘Mitos’ juga merupakan model pembela kultur (budaya), ketika kultur hendak ditiadakan oleh perjalanan sejarah yang terlalu mengandalkan ‘rasio’, mereduksi serta merebut peran penting dari ‘naluri (rasa)’ sebagai pembangun sejarah.

Pasca kemerdekaan Negara Republik Indonesia, dimana pada awal dekade kemerdekaan terkenal sebuah sologan Nation and Character Building, yang mengandung makna yaitu Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara yang kemudian menjadi acuan dasar bagi upaya mencerdaskah kehidupan bangsa yang berkarakter. Namun, ketika menilik apa yang telah terjadi pada struktur sosio-kultural masyarakat modern di Indonesia di era globalisasi seperti saat ini, dimana ada beberapa warga masyarakat yang menjadikan pancasila hanya sebgai wacana, konsep dan retorika belaka. Pancasila sebagai ideologi bangsa yang memuat nilai-nilai luhur, diharapkan mampu mewujudkan cita-cita bangsa dan negara dengan menjadikannya sebagai acuan atau pedoman hidup bagi masyarakat, serta menjadi pedoman dalam pelaksanaan pembangunan dan penyelenggaraan negara, sejauh ini praktik atau realisasi sila-sila yang tercantum dalam pancasila itu sendiri belum tampak pada sistem tatanan sosial budaya masyarakat secara menyeluruh (Pancasila masih diatas langit mengambang, pancasila belum turun ke bumi pertiwi). Pancasila layaknya hanya sebuah ‘benda antik’ yang dipuji-puji, dirawat, dielus-elus, kemudian disimpan dalam museum-museum peninggalan sejarah. Inilah sikap Antikuaris secara hakiki, yang kemudian melanda masyarakat modern, tek terkecuali di Indonesia. Dengan kata lain, Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara, hanya sebagai Antikuaris (belum sebagai Monumentalis). Sebagai akibat, berbagai macam kejahatan, tindak kriminal, korupsi, penyalahgunaan narkotika, pemerkosaan, dst, pun masih merajalela dan sering  dijumpai pada realitas sosial masyarakat, Indonesia.


Akhir-akhir ini, media sering digemparkan oleh berbagai macam kejadian-kejadian tragis, brutal, dan mengerikan pada relalitas soisal masyarakat di Indonesia. Entah, masyarakat masih mengenal sifat-sifat adiluhung yang pernah tersimpan dalam sejarah kehidupan para pendahulu kita. Ini merupakan konsekuensi dari kekuatan rasio yang terlalu mengambil peran penting dalam sejarah kehidupan, yang merujuk Sokrates, yakni meletakkan dasar pemikirannya bahwa ‘rasio’lah yang menjadi pencipta sejarah, sementara ‘naluri’ menjadi pemalsunya. Hal ini, kemudian dibalikkan oleh Nietzche, bahwa ‘rasio’ itu sering menjadi pemalsu sejarah, justru ‘naluri’lah yang menjadi pembangun sejarah. Karena itu, di sini manusia perlu bersikap kritis dan melawan hal-hal yang telah merusak sistem tatanan sosio-kultural masyarakat. Sebagai generasi penerus, perlu menghidupkan kembali naluri kemanusiaan terhadap sejarah, yang kini dilanda kekrisisan. Dengan mencintai dan menghidupkan kembali mitos-mitos, yang telah melahirkan serta membentuk berbagai macam kebudayaan, suatu keniscayaan untuk melawan sikap Antikuaris yang dialami masyarakat modern Indonesia secara kompleks. Dan, kemudian menghidupkan kembali sikap Monumentalis, yakni ‘me-monumentalisasikan’ secara kritis Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara. Sebagaimana, hal ini telah dilakukan oleh para pemimpin pendiri bangsa Indonesia (Bung Karno, dkk), dengan tidak hanya menggunakan rasio, tetapi juga dengan naluri, kebesaran dan keagungan bangsa yang pernah tersimpan dalam sejarah, kemudian digali dan terus dihidupkan. Dengan demikian, apa yang dicita-citakan bangsa dan negara dapat tercapai, bangsa dan negara yang ideal. (Suherman, 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan dikomentari...