INDONESIA merupakan bangsa dan negara dengan
ideologi yang sangat tinggi, yakni
Pancasila. Mujib Rohmat dalam makalahnya yang disajikan pada Seminar Nasional
di Universitas Negeri Semarang, pada tanggal 29 oktober 2015 “Revitalisasi
Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara di Era Globalisasi”,
mengatakan bahwa Pancasila merupakan jantung bangsa Indonesia. Pancasila
memiliki fungsi yang sangat strategis, yakni, menjadi dasar negara republik
Indonesia, pandangan hidup bangsa, perjanjian luhur, sumber dari segala sumber
hukum negara, serta sebagai moral pembangunan. Pancasila, yang terdiri dari
lima sila, masing-masing memiliki makna yang berbeda, namun terlepas dari itu,
nilai-nilai, baik nilai dalam hubungan vertikal maupun horisontal, tetap menjadi
dasar perumusan Pancasila. Semangat serta Optimisme muncul dari benak para
penggagas Pancasila (Soekarno, dkk), yang memiliki cita-cita tinggi akan
terciptanya suatu bangsa dan negara yang ideal, sehingga tepat pada tanggal 18
agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia (sejarah
kemerdekaan Indonesia), PPKI melaksanakan sidang untuk menetapkan tiga hal.
Salah satu diantaranya adalah penetapan UUD Negara Republik Indonesia, yang di
dalamnya, pada alinea ke VI, tercantum Pancasila sebagai dasar negara.
Sebagaimana diketahui bahwa
Indonesia memiliki keanekaragaman yang kompleks. Berbagai macam karakter, suku,
warna kulit, ras, bahasa, kebudayaan, serta beribu pulau yang dibatsi oleh
lautan, menjadi satu kesatuan yang utuh dalam sutau negara, Indonesia. Hal ini,
juga menjadi salah satu faktor atau landasan dalam perumusan Pancasila dengan
tujuan untuk meletakkan dasar pola pikir warga negara agar dapat mencapai
tujuan bangsa dan negara. Adapun tujuan yang dimaksud, yang tertera dalam pembukaan
UUD Negara Republik Indonesia 1945, diantaranya, yakni melindungi segenap warga
negara Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan abadi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila dijadikan sebagai ideologi bangsa dan
negara, agar tujuan tersebut dapat tercapai, dengan tetap menjadikan ‘agama’
sebagai yang utama.
Pancasila sebagai Antikuaris atau Monumentalis?
Berbicara tentang Antikuaris dan Monumentalis,
sebgaimana Nietzsche (1844-1900) dengan pandangannya mengenai sikap sejarah,
mengatakan bahwa sikap Antikuaris memperlakukan sejarah hanya sebagai
peninggalan ‘benda kuno’ atau sebagai ‘barang antik’. Sementara sikap
Monumentalis percaya bahwa dalam sejarah, telah tercatat sebuah fenomena
kebesaran dan keagungan. Namun, sikap Monumentalis tidak hanya sekedar
‘memonumenkan’ sejarah, akan tetapi sikap ini sesungguhnya adalah suatu upaya
untuk menciptakan kembali keberaran dan keagungan (realitas primordial) di masa kini. Kemudian, lebih lanjut Nietzsche, bahwa
sikap Monumentalis harus disertai dengan sikap kritis. Demikian, karena sikap
kritis akan mampu menggali kekuatan progresif yang tersimpan dalam sejarah.
Jelas, di sini terdapat perbedaan yang signifikan antara Antikuaris dan
Monumentalis.
Pancasila, tidak lain adalah sebuah dokumen sejarah
yang dititipkan oleh para pencetusnya, yang memiliki nilai-nilai luhur serta
meyiratkan harapan besar akan terciptanya suatu bangsa dan negara yang ideal,
merupakan suatu kewajiban bagi generasi penerus untuk menciptakan kembali
secara terus-menerus, atau melanjutkannya dalam rangka menwujudkan cita-cita
bangsa dan negara seperti yang tertuang dalam Pancasila itu sendiri. Adapun
mengenai keberhasilan sejarah, pastinya membutuhkan pendukung yang kuat dan
penting, yaitu ‘Mitos’, yang kemudian menjadi model utama. Menurut Mircea Eliade, Mitos merupakan dasar kehidupan sosial dan kebudayaan manusia
‘religius’. Mitos merupakan suatu sejarah tentang sesuatu yang terjadi pada
masa lampau (in illo tempore). Demikian, kita bangsa Indonesai dengan budaya yang khas Timur, sangat identik dengan nilai-nilai religius yang tinggi. Artinya, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang dihuni oleh manusia-manusia 'religius' itu. Di sisi lain, oleh Sunarto, bahwa ‘Mitos’
juga merupakan model pembela kultur (budaya), ketika kultur hendak ditiadakan
oleh perjalanan sejarah yang terlalu mengandalkan ‘rasio’, mereduksi serta
merebut peran penting dari ‘naluri (rasa)’ sebagai pembangun sejarah.
Pasca kemerdekaan Negara Republik Indonesia, dimana
pada awal dekade kemerdekaan terkenal sebuah sologan Nation and Character Building, yang mengandung makna yaitu
Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara yang kemudian menjadi acuan dasar
bagi upaya mencerdaskah kehidupan bangsa yang berkarakter. Namun, ketika
menilik apa yang telah terjadi pada struktur sosio-kultural masyarakat
modern di Indonesia di era
globalisasi seperti saat ini, dimana ada beberapa
warga masyarakat yang menjadikan pancasila hanya sebgai wacana, konsep dan
retorika belaka. Pancasila sebagai ideologi bangsa yang memuat nilai-nilai luhur,
diharapkan mampu mewujudkan cita-cita bangsa dan negara dengan menjadikannya
sebagai acuan atau pedoman hidup
bagi masyarakat,
serta menjadi pedoman dalam pelaksanaan pembangunan dan penyelenggaraan negara,
sejauh
ini praktik atau realisasi
sila-sila yang tercantum dalam
pancasila itu sendiri belum tampak pada sistem tatanan sosial budaya masyarakat
secara menyeluruh (Pancasila
masih diatas langit mengambang, pancasila belum turun ke bumi pertiwi).
Pancasila layaknya hanya sebuah ‘benda antik’ yang
dipuji-puji, dirawat, dielus-elus, kemudian disimpan dalam museum-museum peninggalan
sejarah. Inilah sikap Antikuaris secara hakiki, yang kemudian melanda
masyarakat modern, tek terkecuali di Indonesia. Dengan kata lain, Pancasila
sebagai ideologi bangsa dan negara, hanya sebagai Antikuaris (belum sebagai
Monumentalis). Sebagai akibat, berbagai macam
kejahatan, tindak kriminal, korupsi, penyalahgunaan narkotika, pemerkosaan, dst,
pun masih merajalela dan sering dijumpai pada realitas sosial masyarakat, Indonesia.
Akhir-akhir ini, media sering digemparkan oleh
berbagai macam kejadian-kejadian tragis, brutal, dan mengerikan pada relalitas
soisal masyarakat di Indonesia. Entah, masyarakat masih mengenal sifat-sifat
adiluhung yang pernah tersimpan dalam sejarah kehidupan para pendahulu kita. Ini
merupakan konsekuensi dari kekuatan rasio yang terlalu mengambil peran penting dalam
sejarah kehidupan, yang merujuk Sokrates, yakni meletakkan dasar pemikirannya
bahwa ‘rasio’lah yang menjadi pencipta sejarah, sementara ‘naluri’ menjadi
pemalsunya. Hal ini, kemudian dibalikkan oleh Nietzche, bahwa ‘rasio’ itu
sering menjadi pemalsu sejarah, justru ‘naluri’lah yang menjadi pembangun
sejarah. Karena itu, di sini manusia perlu bersikap kritis dan melawan hal-hal
yang telah merusak sistem tatanan sosio-kultural masyarakat. Sebagai generasi
penerus, perlu menghidupkan kembali naluri kemanusiaan terhadap sejarah, yang
kini dilanda kekrisisan. Dengan mencintai dan menghidupkan kembali mitos-mitos,
yang telah melahirkan serta membentuk berbagai macam kebudayaan, suatu
keniscayaan untuk melawan sikap Antikuaris yang dialami masyarakat modern Indonesia
secara kompleks. Dan, kemudian menghidupkan kembali sikap Monumentalis, yakni ‘me-monumentalisasikan’
secara kritis Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara. Sebagaimana, hal
ini telah dilakukan oleh para pemimpin pendiri bangsa Indonesia (Bung Karno,
dkk), dengan tidak hanya menggunakan rasio, tetapi juga dengan naluri,
kebesaran dan keagungan bangsa yang pernah tersimpan dalam sejarah, kemudian digali
dan terus dihidupkan. Dengan demikian, apa yang dicita-citakan bangsa dan
negara dapat tercapai, bangsa dan negara yang ideal. (Suherman, 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan dikomentari...