Ada
orang yang mengatakan padaku,
“Jika
engkau melihat ada budak tertidur,
jangan digugah, barangkali ia sedang bermimpi
akan kebebasan”.
Kujawab,
“jika
engkau melihat ada budak tertidur,
gugahlah dan ajaklah berbicara tetang
kebebasan”.
(Khalil
Gibran, dalam Sutrisno: 2006)
BERBICARA
mengenai estetika, tentu sangat erat kaitannya dengan seni dan keindahan. Estetika
merupakan salah satu kajian filsafat yang membahas tentang seni (art) dan keindahan (beauty). Penekanan ilmu ini, menekankan pada perkembangan pemikiran
spekulatif-logik terhadap gejala seni dan keindahan, olehnya itu, sebgaian
besar pemikirannya bersifat logis-murni dan spekulatif (Sumardjo, 2000:271).
Adapun pembahasannya, tidak lain dari upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan
mengenai seni dan keindahan, seperti apa yang semestinya terdapat dalam karya
seni? apa sebenarnya hakikat dari seni itu? Apa hakikat keindahan itu?, dst.
Seiring
perkembangan zaman, konsepsi-konsepsi mengenai seni dan keindahan atau estetika
pun mengalami perubahan. Kosepsi-konsepsi ini, kemudian dikembangkan oleh
cendekiawan-cendekiawan yang eksis dan memilki pengaruh besar pada masanya atau
zamannya. Dari zaman yunani-romawi, abad pertengahan, renaissance, zaman modern,
hingga saat ini, seni dan keindahan atau estetika masih hangat diperbincangkan
oleh kalangan-kalangan intelektual akademis maupun non-akademik, seniman-seniman, serta kritikus-kritikus seni.
Plato
(428-348 SM), membagi keindahan menjadi dua bagian. Pertama, yang indah adalah
benda material (indah yang tampak), yang kemudian lebih jauh lagi mengalami
transformasi hingga sampai pada idea
yang indah. Kedua, yang indah adalah sesuatu yang sederhana (bentuk dan ukuran
yang tidak dapat diberi batasan lebih lanjut berdasarkan sesuatu yang lebih
sederhana lagi) baik dalam alam, maupun dalam karya seni. Mengenai karya seni
menurut Plato, bahwa karya seni tidak lain daripada mimesis atau tiruan (dari alam idea)
(Sutrisno dan Verhaak, 1993:27).
Sementara, Aristoteles (384-322 SM)
sebagai murid plato, juga mengatakan bahwa seni adalah tiruan. Namun, Aristoteles
memiliki perbedaan konsepsi mengenai seni dengan Pato. Tiruan yang dimaksud Aristoteles
adalah tiruan dari alam nyata (realitas), dan bukan hanya sekedar reproduksi
realitas. Seni dalam hal ini adalah penggambaran dari apa yang diamati oleh
kekuatan inderawi. Olehnya itu, seni bagi Aristoteles lebih mengarah bersifat
rasionalistik. Seni adalah sesuatu yang indah, sementara indah menurut
Aristoteles adalah yang rasional, dan yang rasional adalah sesuatu yang bisa
dikonstruksi dan direkonstruksi secara konseptual (Hauskeller, 2015).
Di
abad pertengahan, yang diprakarsai oleh Thomas Aquinas (1225-1274 M), dengan
teori estetikanya yang cenderung berpihak pada teori estetikanya Aristoteles.
Aquinas yang mengembangkan teori Aristoteles bahwa peran subjek dan benda seni
amat menentukan dalam seni, maka Aquinas juga menekankan pentingnya pengetahuan
subjek dan pengalaman (empiris) kesenian. Di sini, terdapat penggabungan dua
teori, yakni teori subjektif (tentang perlunya pengalaman keindahan) dan teori
objektif (perlunya benda seni) (Sumardjo, 2000: 279). Dengan demikian, mengenai
esensi dari keindahan, Aquinas dengan rumusannya yang terkenal adalah
"keindahan berkaitan dengan pengetahuan". pengalaman keindahan
(subjektifitas) muncul apabila terdapat pengetahuan dan pengalaman dalam diri
manusia.
Kemudian,
memasuki zaman Renaissance khususnya di Italia, bermunculan pula beberapa
filsuf kesenian, keindahan dan estetika secara umum. salah satu tokoh
terkenalnya adalah Leonardo da Vinci (1452-1519) yang merupakan seorang seniman
ternama sekaligus ilmuan. Bersama rekan-rekannya, Da Vinci yakin bahwa dalam
menciptakan karya seni, pencipta seni (seniman) perlu berpegang pada pedoman
umum yakni karya seni mana pun ‘takluk’ pada ilham seniman asal seniman
tersebut ‘taat’ pada alam (Sutrisno dan Verhaak, 1993:44).
Demikian,
seiring perkembangan zaman serta berkembangnya ilmu pengetahuan, teori-teori
mengenai seni dan keindahan pun bermunculan di mana-mana, yang dikembangkan
oleh para filsuf, cendekiawan-cendikiawan, seniman, kritikus seni, sastrawan,
walaupun beberapa diantaranya memiliki konsepsi-konsepsi yang berbeda. Selanjutnya,
sekitar abad ke-19 muncul beberapa pemikir-pemikir terkemuka, yang kemudian
memperkaya wacana mengenai seni dan keindahan atau estetika. Diantaranya, yang berpengaruh adalah Jhon
Ruskin (1819-1900) dan Herbert Spencer (1820-1903).
John Ruskin
John
Ruskin (1819- 1900) adalah kritikus seni terkemuka dari Inggris pada era
Victoria , juga merupakan aktivis di bidang kesenian, watercolourist, seorang
pemikir sosial terkemuka dan dermawan. Ruskin menulis berbagai macam subjek
ilmu pengetahuan mulai dari geologi, arsitektur, mitos, sastra, dan botani.
Gaya penulisannya di bidang sastra cenderung bervariasi. Ruskin menulis esai
dan risalah, puisi dan ceramah, panduan wisata, manual, surat-surat dan bahkan
dongeng. Dalam semua tulisannya, ia menekankan hubungan antara alam, seni dan
masyarakat. Ruskin juga membuat sketsa rinci dan lukisan batu, tanaman, burung,
lanskap, dan struktur arsitektur dan ornamen. Ruskin sangat berpengaruh di
paruh kedua abad ke-19 hingga Perang Dunia Pertama. Pasca era perang,
reputasinya terus meningkat sejak 1960-an dengan publikasi dari berbagai
penelitian akademik. Hingga saat ini, ide-idenya telah secara luas diakui telah
dan amat diminati (Internet: Jhon Ruskin-Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas).
Perkembangan
selanjutnya seni klasik dan karya kerajinan tangan semakin ditinggalkan oleh
bentuk-bentuk produksi mesin yang cepat praktis dan tidak kalah keindahannya.
Salah satu yang memanfaatkannya adalah Augustus Welby Nortmore Pugin
(1812-1852). Hal ini terungkap dari tulisannya sebagai berikut:
“Dalam
beberapa hal, saya siap untuk menerima bahwa penemuan baru telah membawa
kesempurnaan, tetapi harus diingat hal itu dibuat oleh mesin. Saya tidak
ragu-ragu mengatakan jika karya seperti itu meningkat maka karya-karya seni dan
kerajinan murni akan turun dalam proporsi lebih besar” (Ragon dalam Yulianto
Sumalyo, 1997).
Lebih
jauh dia memuji jaman pertengahan dengan mengatakan bahwa arsitektur klasik
Gothic, identik dengan Katolikisme dan bahwa pada jaman Medieval itu
gereja-gereja yang menghiasi kota-kota katholik digantikan oleh pabrik, penjara
atau berubah menjadi fungsi lainnya. Keindahan arsitektur adalah adaptasi dari
bentuk kepada fungsi, hal ini menimbulkan inspirasi yang menggerakan para
arsitek ke seniman.
John
Ruskin (1819-1900) berlawan dengan Pugin, tidak setuju pada keindahan klasik.
Ia mendukung pendapat bahwa Gothic tidak hanya sebagai arsitektur gereja,
tetapi secara sempurna merupakan suatu arsitektur modern. Dia tidak setuju
terhadap eklektisme yang sedang mendominasi dunia arsitektur pada masa itu
karena eklektisme cenderung memilih unsur (elemen) terbaik dan menggabungkannya
sehingga menjadi “bentuk yang sangat heterogen”. Pertentangan pendapat antara
Pugin dan Ruskin terungkap pula pada ketidaksenangan Ruskin pada masyarakat
Borjuis dan masyarakat yang “masinal”. Hal
ini terungkap dari tulisannya:
“…semua
pekerjaan hasil cetakan mesin adalah buruk dan lagipun tidak jujur …”.
Dapat
dibayangkan mesin sangat mengerikan dan anti kebudayaan. Padahal pada zaman
itu, mesin dapat melahirkan suatu keindahan baru misalnya Crystal Palace atau
Istana Kristal di London Inggris. Namun Ruskin membenci bangunan luar biasa ini
dan menyebutnya sebagai “suatu ruang kaca untuk ketimun” dan bahwa stasiun
kereta api bukanlah suatu karya arsitektural tetapi hasil pekerjaan bersifat
industrial (Ragon dalam Yulianto Sumalyo, 1997).
Seni
dan kerajinan (the arts and crafts
movement) merupakan sebuah pergerakan estetika dari masyarakat Inggris,
Kanada, dan Amerika yang muncul pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang
merupakan reaksi perlawanan terhadap kekacauan sosial, moral, seni dan budaya
pada masa revolusi industri. Pergerakan ini dimulai oleh William Morris (1834–1896).
Di sini, Jhon Ruskin mengambil peran yang krusial, karena dia lah yang kemudian
menyebarluaskan pergerakan Morris melalui tulisan inspiratifnya. Pergerakan
reformis ini mempengaruhi gaya arsitektur, seni-seni dekoratif, pembuatan
furniture, bahkan desain taman di Inggris, Kanada, dan Amerika. Inti pergerakan
ini adalah keprihatinan atas apa yang dihasilkan di masa revolusi industri,
terutama akan produk-produknya yang tidak berkualitas (dalam hal cita rasa
seni). Pergerakan seni dan kerajinan ingin mengembalikan kaidah ‘humanity and beauty’. Pergerakan seni
dan kerajinan menekankan pada produk-produk yang dihasilkan dengan tangan (hand made), meski untuk itu produk yang
dihasilkan secara jumlah menjadi sangat terbatas. Jumlah terbatas tersebut
dikarenakan gerakan ini anti mesin-mesin industri untuk membuat hasil produksi
yang massal.
Kemudian,
Pameran Raya pada tahun 1851 di London, juga membawa pengaruh di masyarakat
mengenai kenyataan bahwa revolusi industri telah menekan kualitas
estetika/keindahan pada barang-barang yang dihasilkan industri masa itu. Mereka
berusaha mengembalikan lagi standar estetika dengan mengembangkan sebuah gaya
nasional secara terpadu (J.M Nas, 2009:130).
Dalam hal ini, definisi keindahan tidak mesti sama
dengan definisi seni. Atau berarti seni tidak selalu dibatasi oleh keindahan.
Menurut kaum empiris dari jaman Barok, permasalahan seni ditentukan oleh reaksi
pengamatan terhadap karya seni. Perhatian terletak pada penganalisisan terhadap
rasa seni, rasa indah, dan rasa keluhuran (keagungan). Reaksi atas
intelektualisme pada akhir abad ke-19 yang dipelopori oleh John Ruskin dan
William Moris adalah mengembalikan peranan seni (ingat kelahiran gerakan
Bauhaus yang terlibat pada perkembangan seni dan industri di Eropa).
“Di
saat Jerman sedang mengalami kehancuran dan kebangkrutan akibat Perang Dunia I,
lahirlah sebuah gerakan seni yang mampu mengubah dunia. Adalah Walter Gropius,
sang pelopor yang menggelorakan semangat perubahan untuk melakukan perombakan
atau reformasi pendidikan dan sekolah seni rupa. Akhirnya, didirikanlah sebuah
sekolah bernama Staatliches Bauhaus Weimar yang didirikan tahun 1919 di Weimar”
Dari pandangan tersebut jelas bahwa permasalahan seni dapat diselidiki dari
tiga pendekatan yang berbeda tetapi yang saling mengisi. Di satu pihak
menekankan pada penganalisisan obyektif dari benda seni, di pihak lain pada
upaya subyektif pencipta dan upaya subyektif dari apresiator.
Herbert Spencer
Herbert Spencer adalah seorang filsuf dari Inggris.
Spencer merupakan salah satu pemikir teori liberal klasik
terkemuka. Spencer lahir di Derby,
27 April 1820 – meninggal
di Brighton,
8 Desember 1903
pada umur 83 tahun. Meskipun kebanyakan karya yang ditulisnya berisi tentang
teori politik
dan menekankan pada "keuntungan akan kemurahan hati", Spencer lebih
dikenal sebagai bapak Darwinisme
sosial. Spencer seringkali menganalisis masyarakat
sebagai sistem evolusi,
ia juga menjelaskan definisi tentang "hukum rimba"
dalam ilmu sosial. Dia
berkontribusi terhadap berbagai macam subyek, termasuk etnis,
metafisika, agama,
politik,
retorik,
biologi
dan psikologi. Spencer saat ini
dikritik sebagai contoh sempurna untuk scientism atau
paham ilmiah, sementara banyak orang yang kagum padanya di saat ia masih hidup
(Internet: Herbert Spencer-Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas).
Pada tahun 1879,
Spencer mengetengahkan sebuah teori tentang Evolusi Sosial yang hingga
kini masih dianut walaupun di sana sini ada perubahan. Ia juga menerapkan
secara analog (kesamaan fungsi) dengan teori evolusi karya Charles Darwin
(1809-1882), yang mengatakan bahwa manusia berasal dari kera, terhadap
masyarakat manusia. Ia yakin bahwa masyarakat mengalami evolusi dari masyarakat
primitif ke masyarakat industri. Menurut Spenser, objek sosiologi yang pokok
adalah keluarga, politik, agama, pengendalian sosial dan industri. Termasuk
pula asosiasi, masyarakat
setempat, pembagian kerja, pelapisan sosial,
sosiologi pengetahuan dan ilmu
pengetahuan, serta penelitian terhadap kesenian
dan keindahan. Herbert Spencer, kemudian memperkenalkan pendekatan analogi
organik, yang memahami masyarakat seperti tubuh manusia, sebagai suatu
organisasi yang terdiri atas bagian-bagian yang tergantung satu sama lain.
Pertanyaannya, bagaimana teori evolusi memiliki relevasi dengan telaah bidang seni?
Teori evolusi, berpendapat bahwa
masyarakat dan kebudayaan manusia berkembang dari tingkat rendah ke tingkat
tinggi, terdorong dari kekuatan untuk berubah. Darwin dalam bukunya yang
berjudul the origin of Spicies yang
ditulis pada tahun 1859, berpengaruh luas di Eropa Barat, sehingga memberi
dorongan kepada para ahli lain untuk mengembangkan teori evolusi. Salah satunya
adalah Herbert Spencer (Subyantoro, 2010:60).
Mengenai teori Spenser tentang seni, yang
merupakan salah satu efek yang ditimbulkan dari berkembangnya teori evolusi, sejak tahun 1850-an,
filsafat seni atau estetika mengalami perubahan yang cukup signifikan, yakni
dari dasar metafisik idealistik menuju ke arah metafisik positif dan evolusi.
Di Eropa, Sekitar pertengahan akhir abad ke-19, memang merupakan masa kacau,
campur aduk antara gagasan materialistik dan idealistik, teori mekanikal dan
teori teologi, skeptisme dan agnostikisme (Sumardjo, 2000:298). Jelas, hal ini
memberi pengaruh pula terhadap perkembangan konsepsi-konsepsi atau teori-teori
tentang seni dan keindahan atau estetika pada saat itu..
Herbert Spencer, yang merupakan salah satu
pemikir terkemuka di abad ke-19 kemudian mengupas pula tentang seni dan
keindahan atau estetika, khususnya estetika positivisme dan naturalisme yang
berkembang setelah estetika romantik. Menurut Spencer, seni juga mengalami hal
serupa yang dialami oleh manusia yakni proses
evolusi. Telaah-telaah Spencer
tentang seni, mulai diterbitkan sekitar tahun 1850-an. Spencer memulai
telaahnya dengan membandingkan nilai kegunaan dan nilai seni. Pendapatnya,
bahwa sesuatu yang berguna menjadi sesuatu yang indah ketika sesuatu itu sudah
tidak memerankan fungsi kegunaannya lagi. Sesuatu dikatakan bernilai seni atau
indah ketika memenuhi syarat-syarat, seperti adanya simetri dan kesatuan, adanya
sifat ekonomi dalam gaya keindahan, adanya keagungan dan kekuasaan atau
kekuatan, serta adanya efek moral yang baik pada penanggapnya. Dalam hal ini,
Spencer mengatakan bahwa karya seni yang baik mampu membangkitkan energi,
kekuatan, dan emosi tingkat tinggi. Namun, hampir semua karya seni merupakan
campuran atara efek artistik dan anti-artistik, maka terdapat sebuah klaim
terhadapa Spenser bahwa konsepsinya tentang seni berada antara sentimentalisme
dan moralisme (Sumardjo, 2000:298).
Selain
itu, Herbert Spencer dalam mendalami ilmu Psikologi, kemudian juga
mengembangkan suatu teori tentang sumber seni, yakni teori permainan. Teori
ini, dikembangkan Spencer bersama dengan Freedrick Schiller (1757-1805).
Menurut Schiller, asal mula seni adalah dorongan batin untuk bermain-main (play impulse) yang ada dalam diri
seseorang. Seni semacam
permainan yang menyeimbangkan segenap kemampuan mental manusia berhubungan
dengan adanya kelebihan energi yang harus dikeluarkan. Bagi Spencer,
permainan itu berperan untuk mencegah kemampuan-kemampuan mental manusia
menganggur dan kemudian menciut karena disia-siakan (Internet:
estetika Herbert Spencer). (Suherman, 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan dikomentari...