Senin, 26 Desember 2016

Estetika abad ke-19: Jhon Ruskin (1819- 1900) dan Herbert Spencer (1820-1903)



Ada orang yang mengatakan padaku,
“Jika engkau melihat ada budak tertidur,
 jangan digugah, barangkali ia sedang bermimpi akan kebebasan”.
Kujawab,
“jika engkau melihat ada budak tertidur,
 gugahlah dan ajaklah berbicara tetang kebebasan”.

(Khalil Gibran, dalam Sutrisno: 2006)


BERBICARA mengenai estetika, tentu sangat erat kaitannya dengan seni dan keindahan. Estetika merupakan salah satu kajian filsafat yang membahas tentang seni (art) dan keindahan (beauty). Penekanan ilmu ini, menekankan pada perkembangan pemikiran spekulatif-logik terhadap gejala seni dan keindahan, olehnya itu, sebgaian besar pemikirannya bersifat logis-murni dan spekulatif (Sumardjo, 2000:271). Adapun pembahasannya, tidak lain dari upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai seni dan keindahan, seperti apa yang semestinya terdapat dalam karya seni? apa sebenarnya hakikat dari seni itu? Apa hakikat keindahan itu?, dst.

Seiring perkembangan zaman, konsepsi-konsepsi mengenai seni dan keindahan atau estetika pun mengalami perubahan. Kosepsi-konsepsi ini, kemudian dikembangkan oleh cendekiawan-cendekiawan yang eksis dan memilki pengaruh besar pada masanya atau zamannya. Dari zaman yunani-romawi, abad pertengahan, renaissance, zaman modern, hingga saat ini, seni dan keindahan atau estetika masih hangat diperbincangkan oleh kalangan-kalangan intelektual akademis maupun non-akademik, seniman-seniman, serta kritikus-kritikus seni.

Plato (428-348 SM), membagi keindahan menjadi dua bagian. Pertama, yang indah adalah benda material (indah yang tampak), yang kemudian lebih jauh lagi mengalami transformasi hingga sampai pada idea yang indah. Kedua, yang indah adalah sesuatu yang sederhana (bentuk dan ukuran yang tidak dapat diberi batasan lebih lanjut berdasarkan sesuatu yang lebih sederhana lagi) baik dalam alam, maupun dalam karya seni. Mengenai karya seni menurut Plato, bahwa karya seni tidak lain daripada mimesis atau tiruan (dari alam idea) (Sutrisno dan Verhaak, 1993:27).

Sementara, Aristoteles (384-322 SM) sebagai murid plato, juga mengatakan bahwa seni adalah tiruan. Namun, Aristoteles memiliki perbedaan konsepsi mengenai seni dengan Pato. Tiruan yang dimaksud Aristoteles adalah tiruan dari alam nyata (realitas), dan bukan hanya sekedar reproduksi realitas. Seni dalam hal ini adalah penggambaran dari apa yang diamati oleh kekuatan inderawi. Olehnya itu, seni bagi Aristoteles lebih mengarah bersifat rasionalistik. Seni adalah sesuatu yang indah, sementara indah menurut Aristoteles adalah yang rasional, dan yang rasional adalah sesuatu yang bisa dikonstruksi dan direkonstruksi secara konseptual (Hauskeller, 2015).

Di abad pertengahan, yang diprakarsai oleh Thomas Aquinas (1225-1274 M), dengan teori estetikanya yang cenderung berpihak pada teori estetikanya Aristoteles. Aquinas yang mengembangkan teori Aristoteles bahwa peran subjek dan benda seni amat menentukan dalam seni, maka Aquinas juga menekankan pentingnya pengetahuan subjek dan pengalaman (empiris) kesenian. Di sini, terdapat penggabungan dua teori, yakni teori subjektif (tentang perlunya pengalaman keindahan) dan teori objektif (perlunya benda seni) (Sumardjo, 2000: 279). Dengan demikian, mengenai esensi dari keindahan, Aquinas dengan rumusannya yang terkenal adalah "keindahan berkaitan dengan pengetahuan". pengalaman keindahan (subjektifitas) muncul apabila terdapat pengetahuan dan pengalaman dalam diri manusia.

Kemudian, memasuki zaman Renaissance khususnya di Italia, bermunculan pula beberapa filsuf kesenian, keindahan dan estetika secara umum. salah satu tokoh terkenalnya adalah Leonardo da Vinci (1452-1519) yang merupakan seorang seniman ternama sekaligus ilmuan. Bersama rekan-rekannya, Da Vinci yakin bahwa dalam menciptakan karya seni, pencipta seni (seniman) perlu berpegang pada pedoman umum yakni karya seni mana pun ‘takluk’ pada ilham seniman asal seniman tersebut ‘taat’ pada alam (Sutrisno dan Verhaak, 1993:44).

Demikian, seiring perkembangan zaman serta berkembangnya ilmu pengetahuan, teori-teori mengenai seni dan keindahan pun bermunculan di mana-mana, yang dikembangkan oleh para filsuf, cendekiawan-cendikiawan, seniman, kritikus seni, sastrawan, walaupun beberapa diantaranya memiliki konsepsi-konsepsi yang berbeda. Selanjutnya, sekitar abad ke-19 muncul beberapa pemikir-pemikir terkemuka, yang kemudian memperkaya wacana mengenai seni dan keindahan atau estetika. Diantaranya, yang berpengaruh adalah Jhon Ruskin (1819-1900)  dan Herbert Spencer (1820-1903).

John Ruskin

John Ruskin (1819- 1900) adalah kritikus seni terkemuka dari Inggris pada era Victoria , juga merupakan aktivis di bidang kesenian, watercolourist, seorang pemikir sosial terkemuka dan dermawan. Ruskin menulis berbagai macam subjek ilmu pengetahuan mulai dari geologi, arsitektur, mitos, sastra, dan botani. Gaya penulisannya di bidang sastra cenderung bervariasi. Ruskin menulis esai dan risalah, puisi dan ceramah, panduan wisata, manual, surat-surat dan bahkan dongeng. Dalam semua tulisannya, ia menekankan hubungan antara alam, seni dan masyarakat. Ruskin juga membuat sketsa rinci dan lukisan batu, tanaman, burung, lanskap, dan struktur arsitektur dan ornamen. Ruskin sangat berpengaruh di paruh kedua abad ke-19 hingga Perang Dunia Pertama. Pasca era perang, reputasinya terus meningkat sejak 1960-an dengan publikasi dari berbagai penelitian akademik. Hingga saat ini, ide-idenya telah secara luas diakui telah dan amat diminati (Internet: Jhon Ruskin-Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas).

Perkembangan selanjutnya seni klasik dan karya kerajinan tangan semakin ditinggalkan oleh bentuk-bentuk produksi mesin yang cepat praktis dan tidak kalah keindahannya. Salah satu yang memanfaatkannya adalah Augustus Welby Nortmore Pugin (1812-1852). Hal ini terungkap dari tulisannya sebagai berikut:

“Dalam beberapa hal, saya siap untuk menerima bahwa penemuan baru telah membawa kesempurnaan, tetapi harus diingat hal itu dibuat oleh mesin. Saya tidak ragu-ragu mengatakan jika karya seperti itu meningkat maka karya-karya seni dan kerajinan murni akan turun dalam proporsi lebih besar” (Ragon dalam Yulianto Sumalyo, 1997).

Lebih jauh dia memuji jaman pertengahan dengan mengatakan bahwa arsitektur klasik Gothic, identik dengan Katolikisme dan bahwa pada jaman Medieval itu gereja-gereja yang menghiasi kota-kota katholik digantikan oleh pabrik, penjara atau berubah menjadi fungsi lainnya. Keindahan arsitektur adalah adaptasi dari bentuk kepada fungsi, hal ini menimbulkan inspirasi yang menggerakan para arsitek ke seniman.

John Ruskin (1819-1900) berlawan dengan Pugin, tidak setuju pada keindahan klasik. Ia mendukung pendapat bahwa Gothic tidak hanya sebagai arsitektur gereja, tetapi secara sempurna merupakan suatu arsitektur modern. Dia tidak setuju terhadap eklektisme yang sedang mendominasi dunia arsitektur pada masa itu karena eklektisme cenderung memilih unsur (elemen) terbaik dan menggabungkannya sehingga menjadi “bentuk yang sangat heterogen”. Pertentangan pendapat antara Pugin dan Ruskin terungkap pula pada ketidaksenangan Ruskin pada masyarakat Borjuis dan masyarakat yang “masinal. Hal ini terungkap dari tulisannya:

“…semua pekerjaan hasil cetakan mesin adalah buruk dan lagipun tidak jujur …”.
Dapat dibayangkan mesin sangat mengerikan dan anti kebudayaan. Padahal pada zaman itu, mesin dapat melahirkan suatu keindahan baru misalnya Crystal Palace atau Istana Kristal di London Inggris. Namun Ruskin membenci bangunan luar biasa ini dan menyebutnya sebagai “suatu ruang kaca untuk ketimun” dan bahwa stasiun kereta api bukanlah suatu karya arsitektural tetapi hasil pekerjaan bersifat industrial (Ragon dalam Yulianto Sumalyo, 1997).

Seni dan kerajinan (the arts and crafts movement) merupakan sebuah pergerakan estetika dari masyarakat Inggris, Kanada, dan Amerika yang muncul pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang merupakan reaksi perlawanan terhadap kekacauan sosial, moral, seni dan budaya pada masa revolusi industri. Pergerakan ini dimulai oleh William Morris (1834–1896). Di sini, Jhon Ruskin mengambil peran yang krusial, karena dia lah yang kemudian menyebarluaskan pergerakan Morris melalui tulisan inspiratifnya. Pergerakan reformis ini mempengaruhi gaya arsitektur, seni-seni dekoratif, pembuatan furniture, bahkan desain taman di Inggris, Kanada, dan Amerika. Inti pergerakan ini adalah keprihatinan atas apa yang dihasilkan di masa revolusi industri, terutama akan produk-produknya yang tidak berkualitas (dalam hal cita rasa seni). Pergerakan seni dan kerajinan ingin mengembalikan kaidah ‘humanity and beauty’. Pergerakan seni dan kerajinan menekankan pada produk-produk yang dihasilkan dengan tangan (hand made), meski untuk itu produk yang dihasilkan secara jumlah menjadi sangat terbatas. Jumlah terbatas tersebut dikarenakan gerakan ini anti mesin-mesin industri untuk membuat hasil produksi yang massal.

Kemudian, Pameran Raya pada tahun 1851 di London, juga membawa pengaruh di masyarakat mengenai kenyataan bahwa revolusi industri telah menekan kualitas estetika/keindahan pada barang-barang yang dihasilkan industri masa itu. Mereka berusaha mengembalikan lagi standar estetika dengan mengembangkan sebuah gaya nasional secara terpadu (J.M Nas, 2009:130).

Dalam hal ini, definisi keindahan tidak mesti sama dengan definisi seni. Atau berarti seni tidak selalu dibatasi oleh keindahan. Menurut kaum empiris dari jaman Barok, permasalahan seni ditentukan oleh reaksi pengamatan terhadap karya seni. Perhatian terletak pada penganalisisan terhadap rasa seni, rasa indah, dan rasa keluhuran (keagungan). Reaksi atas intelektualisme pada akhir abad ke-19 yang dipelopori oleh John Ruskin dan William Moris adalah mengembalikan peranan seni (ingat kelahiran gerakan Bauhaus yang terlibat pada perkembangan seni dan industri di Eropa).

“Di saat Jerman sedang mengalami kehancuran dan kebangkrutan akibat Perang Dunia I, lahirlah sebuah gerakan seni yang mampu mengubah dunia. Adalah Walter Gropius, sang pelopor yang menggelorakan semangat perubahan untuk melakukan perombakan atau reformasi pendidikan dan sekolah seni rupa. Akhirnya, didirikanlah sebuah sekolah bernama Staatliches Bauhaus Weimar yang didirikan tahun 1919 di Weimar”

Dari pandangan tersebut jelas bahwa permasalahan seni dapat diselidiki dari tiga pendekatan yang berbeda tetapi yang saling mengisi. Di satu pihak menekankan pada penganalisisan obyektif dari benda seni, di pihak lain pada upaya subyektif pencipta dan upaya subyektif dari apresiator.

Herbert Spencer

Herbert Spencer adalah seorang filsuf dari Inggris. Spencer merupakan salah satu pemikir teori liberal klasik terkemuka. Spencer lahir di Derby, 27 April 1820 – meninggal di Brighton, 8 Desember 1903 pada umur 83 tahun. Meskipun kebanyakan karya yang ditulisnya berisi tentang teori politik dan menekankan pada "keuntungan akan kemurahan hati", Spencer lebih dikenal sebagai bapak Darwinisme sosial. Spencer seringkali menganalisis masyarakat sebagai sistem evolusi, ia juga menjelaskan definisi tentang "hukum rimba" dalam ilmu sosial. Dia berkontribusi terhadap berbagai macam subyek, termasuk etnis, metafisika, agama, politik, retorik, biologi dan psikologi. Spencer saat ini dikritik sebagai contoh sempurna untuk scientism atau paham ilmiah, sementara banyak orang yang kagum padanya di saat ia masih hidup (Internet: Herbert Spencer-Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas).

Pada tahun 1879, Spencer mengetengahkan sebuah teori tentang Evolusi Sosial yang hingga kini masih dianut walaupun di sana sini ada perubahan. Ia juga menerapkan secara analog (kesamaan fungsi) dengan teori evolusi karya Charles Darwin (1809-1882), yang mengatakan bahwa manusia berasal dari kera, terhadap masyarakat manusia. Ia yakin bahwa masyarakat mengalami evolusi dari masyarakat primitif ke masyarakat industri. Menurut Spenser, objek sosiologi yang pokok adalah keluarga, politik, agama, pengendalian sosial dan industri. Termasuk pula asosiasi, masyarakat setempat, pembagian kerja, pelapisan sosial, sosiologi pengetahuan dan ilmu pengetahuan, serta penelitian terhadap kesenian dan keindahan. Herbert Spencer, kemudian memperkenalkan pendekatan analogi organik, yang memahami masyarakat seperti tubuh manusia, sebagai suatu organisasi yang terdiri atas bagian-bagian yang tergantung satu sama lain. Pertanyaannya, bagaimana teori evolusi memiliki relevasi dengan telaah bidang seni?

Teori evolusi, berpendapat bahwa masyarakat dan kebudayaan manusia berkembang dari tingkat rendah ke tingkat tinggi, terdorong dari kekuatan untuk berubah. Darwin dalam bukunya yang berjudul the origin of Spicies yang ditulis pada tahun 1859, berpengaruh luas di Eropa Barat, sehingga memberi dorongan kepada para ahli lain untuk mengembangkan teori evolusi. Salah satunya adalah Herbert Spencer (Subyantoro, 2010:60).

Mengenai teori Spenser tentang seni, yang merupakan salah satu efek yang ditimbulkan dari berkembangnya teori evolusi, sejak tahun 1850-an, filsafat seni atau estetika mengalami perubahan yang cukup signifikan, yakni dari dasar metafisik idealistik menuju ke arah metafisik positif dan evolusi. Di Eropa, Sekitar pertengahan akhir abad ke-19, memang merupakan masa kacau, campur aduk antara gagasan materialistik dan idealistik, teori mekanikal dan teori teologi, skeptisme dan agnostikisme (Sumardjo, 2000:298). Jelas, hal ini memberi pengaruh pula terhadap perkembangan konsepsi-konsepsi atau teori-teori tentang seni dan keindahan atau estetika pada saat itu..

Herbert Spencer, yang merupakan salah satu pemikir terkemuka di abad ke-19 kemudian mengupas pula tentang seni dan keindahan atau estetika, khususnya estetika positivisme dan naturalisme yang berkembang setelah estetika romantik. Menurut Spencer, seni juga mengalami hal serupa yang dialami oleh manusia yakni proses evolusi. Telaah-telaah Spencer tentang seni, mulai diterbitkan sekitar tahun 1850-an. Spencer memulai telaahnya dengan membandingkan nilai kegunaan dan nilai seni. Pendapatnya, bahwa sesuatu yang berguna menjadi sesuatu yang indah ketika sesuatu itu sudah tidak memerankan fungsi kegunaannya lagi. Sesuatu dikatakan bernilai seni atau indah ketika memenuhi syarat-syarat, seperti adanya simetri dan kesatuan, adanya sifat ekonomi dalam gaya keindahan, adanya keagungan dan kekuasaan atau kekuatan, serta adanya efek moral yang baik pada penanggapnya. Dalam hal ini, Spencer mengatakan bahwa karya seni yang baik mampu membangkitkan energi, kekuatan, dan emosi tingkat tinggi. Namun, hampir semua karya seni merupakan campuran atara efek artistik dan anti-artistik, maka terdapat sebuah klaim terhadapa Spenser bahwa konsepsinya tentang seni berada antara sentimentalisme dan moralisme (Sumardjo, 2000:298).

Selain itu, Herbert Spencer dalam mendalami ilmu Psikologi, kemudian juga mengembangkan suatu teori tentang sumber seni, yakni teori permainan. Teori ini, dikembangkan Spencer bersama dengan Freedrick Schiller (1757-1805). Menurut Schiller, asal mula seni adalah dorongan batin untuk bermain-main (play impulse) yang ada dalam diri seseorang. Seni semacam permainan yang menyeimbangkan segenap kemampuan mental manusia berhubungan dengan adanya kelebihan energi yang harus dikeluarkan. Bagi Spencer, permainan itu berperan untuk mencegah kemampuan-kemampuan mental manusia menganggur dan kemudian menciut karena disia-siakan (Internet: estetika Herbert Spencer). (Suherman, 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan dikomentari...