A.
Pendahuluan
ROKOK adalah salah satu barang konsumsi yang
sejak dari dulu sudah menjadi kebutuhan beberapa kalangan masyarakat, khuasunya
kaum pria.
Berbicara mengenai rokok, kini sudah banyak bertaburan berbagai macam rokok
dengan berbagai macam rasa. Selain itu, roko dalam bentuk kemasan pun sudah
beragam. Mulai dari GM, Mustang, Surya, Gudang Garam, Class Mild, Pro Mild,
Sampoerna, dan masih banyak yang lainnya. Bahkan seiring perkembangan zaman,
rokok pun mengalami perubahan yang cukup signifikan.
Dahulu,
rokok hanya bisa dinikmati dengan cara membakar potongan-potongan filter yang
berisi cengkeh, tembakau, yang kemudian diolah dengan menambahkan bahan yang
memiliki daya tarik utuk memberikan kenikmatan-kenikmatan saat menghisap rokok.
Namun, seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat,
kini rokok pun sudah bisa dinikmati tanpa menggunakan api seperti jenis produk
rokok konvensional. Di berbagai daerah, sudah banyak dijual rokok yang bisa
dicas (rokok eletronik) atau rokok yang dibakar dengan menggunakan tenaga
baterai. Selain itu, rokok eletronik dianalisir relatif lebih hemat, karena
bisa diisi ulang dengan menggunakan tenaga listrik. Rokok sejenis ini, pertama
ditemukan pada tahun 2003 oleh SBT Co Ltd (sebuah perusahaan berbasis Beijing,
RRC).
Sebagaimana dalam realitas sosial budaya masyarakat,
khususnya di Indonesia, rokok telah menjadi bahan konsumsi yang tidak sedikit
diminati masyarakat. Rokok telah menjadi semacam universalisme dalam gaya hidup
(live style) budaya manusia. Terlepas
dari pemahaman masyarakat secara umum, iklan produk atau kemasan rokok terlihat
konyol dan lucu, namun di situ muncul adanya ‘kehidupan’. Dari adanya
‘kehidupan’ inilah, maka konsumen justru bertanya-tanya: “apa maksud dari
ditampilkannya narasi kecil dalam iklan rokok itu sendiri?”. Jawabannya adalah
realitas sebuah ambiguitas, yang kemudian dari sinilah muncul estetika yang
hidup (Sunarto, 2016:312-315). Bagaimanapun, dalam produksi rokok, tentunya
iklan menjadi sentral agar produk rokok semakin diminati masyarakat.
Lajunya
industrialisasi secara global pada perkembangan zaman dewasa ini, menuntut
dunia industri untuk lebih kreatif dalam mempromosikan produk-produk yang
ditawarkan. Tak terkecuali produk rokok. Sejauh ini, iklan-iklan rokok pun
sering kita jumpai, baik di televisi, majalah, koran, dan berbagai macam media
komunikasi lainnya. iklan rokok yang sering hadir di media, tentunya tidak terlepas dari
kenikmatan-kenikmatan yang ditawarkan, yang kemudian menerobos masuk pada
wilayah logika rasa. Yang lebih menarik perhatian dan terkadang membingungkan,
beberapa produk rokok, memasang atau menampilkan iklan yang secara kasat mata tampak tidak memiliki relasi antara
objek (yang
diiklankan)
dengan apa yang ditampikan. Inilah dunia pasca modern (postmodern).
Menurut
Jean Baudrilliar (1929-2007), hal semacam ini adalah salah satu ciri yang
menonjol pada perkembangan kebudayaan postmodern, di mana penampakan
terkadang jauh dari realitas sesungguhnya. Kebudayaan postmodern lebih
mengutamakan penanda ketimbang petanda, media ketimbang pesan, fiksi ketimbang
fakta, sistem
tanda ketimbang sistem objek, serta estetika ketimbang etika. Selain itu, kebudayaan postmodern
merupakan dunia simulasi yang terbangun dengan pengaturan tanda, citra dan
fakta melalui produksi dan reproduksi serta tumpang tindih dan berjalin
kelindan, yang kemudian menjadi suatu konsekuensi dengan ditandai oleh sifat
hiperrealitas, di mana citra dan fakta bertubrukan dalam satu ruang kesadaran
yang sama. Realitas semu (citra) mengalahkan realitas sesungguhnya (fakta) (Sunarto, 2014:44).
Di era postmodernisme seperti saat ini, Fenomena karya
seni dalam bentuk iklan-iklan komersial begitu menarik perhatian untuk dibahas.
Iklan rokok merupakan salah satu daintaranya. Khususnya di Indonesia pasca
tahun 2000, iklan semua produk rokok mengalami perkembangan yang cukup menarik
dari sisi filosofis, dimana di dalam iklan rokok terjadi ‘peperangan’ ideologi
yang jelas terlihat dan kemungkinan besar akan terus terjadi (Sunarto,
2016:311). Namun terlepas dari hal ini, dalam kajian semiotika, dimana dalam
semiotika atau ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda, dikenal adanya
semiotika tingkat pertama (denotasi) dan semiotika tingkat kedua (konotasi).
Dengan demikian, iklan rokok dengan berbagai bentuk, tentunya tidak terlepas
dari kedua sistem tanda itu.
Oleh
sebab itu, dalam artikel ini akan diuraikan tentang bagaimana sistem tanda
bekerja pada iklan rokok. Dalam hal ini, mengenai denotasi dan konotasi, atau
yang biasa disebut semiotika tingkat pertama dan tingkat kedua). Sebagaimana, dalam ilmu tanda atau semiotika, dikenal
adanya denotasi dan konotasi. Roland Barthes (1915-1980) yang meneruskan teori
semiotika Saussure, menekankan bahwa denotasi adalah sistem signifikasi tingkat
pertama, sedangkan konotasi adalah sistem signifikasi tingkat kedua. Anatara
denotasi dan konotasi, adalah suatu yang berbeda, namun antar keduanya pun
sangat bertalian atau berkaitan. Denotasi merupakan sebuah penanda (signifier),
sementara konotasi adalah petanda (signified) (lihat Zoest, 1993).
B.
Semiotika Roland Barthes (1915-1980)
Roland Barthes (1959-1980) adalah seorang ahli
semiotika dan kritikus sastra. Pria kelahiran Cherbourg, Paris ini, dalam pemikiran awalnya melihat
kehidupan sosial dan kultural dalam bingkai kerangka tanda, dan dari sini dalam
bingkai kerangka beberapa sifat objek yang tidak bersifat essensial.
Karya-karya Roland Barthes sangat beragam. Karyanya berkisar dari teori
semiotika, esai kritik sastra, pemaparan tulisan historis Jules Mihelet
sehubungan dengan obsesinya, telaah psikobiografis tentang Racine yang
menggusarkan kelompok tertentu dalam sastra Perancis, seperti juga karya-karya
yang lebih bersifat pribadi tentang kepuasan dalam wacana, cinta, dan fotografi
(Sunarto, 2016: 41).
Semiotika Barthes memiliki bahasa yang tersusun atas dua tingkatan
bahasa, yaitu bahasa
tingkat pertama adalah bahasa sebagai obyek dan bahasa tingkat kedua yang
disebut dengan metabahasa (lihat kurniawan, 2001). Didalam konsep semiotika
Barthes, denotasi yaitu makna paling nyata
dan tampak dari sebuah tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes
untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua atau pemaknaan. Hal ini terwujud interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu
dengan makna dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya.
Konotasi mempunyai makna yang subjektif dengan kata
lain, denotasi adalah apa yang tampak dari tanda terhadap sebuah objek,
sedangkan konotasi adalah bagaimana menyampaikan maknanya. Sejumlah tanda
denotasi bisa berkelompok untuk membentuk suatu konotator asalkan yang disebut
terakhir ini memiliki suatu petanda konotasi; dengan kata lain, satuan-satuan
dalam sistem konotasi itu tidak mesti sama lusanya dengan sistem denotasi; satu
satuan dalam sistem konotasi dapat dibentuk dari sejumlah satuan dan wacana
denotatif (Barthes, 2012:93).
C.
Iklan Rokok dalam Semiotika Tingkat Pertama (Denotasi)
dan Tingkat Kedua (Konotasi)
1.
Semiotika
Tingkat pertama (Denotasi)
Sebagaimana
telah dijelaskan bahwa denotasi merupakan system signifikasi tingkat pertama,
atau semiotika tingkat pertama, dalam hal ini denotasi merupakan sebuah penanda
(signifier). Iklan rokok dalam
analisis semiotika tingkat pertama atau denotasi, adalah unsur-unsur atau
elemen-elemen yang membangun system tanda dalam iklan rokok itu sendiri.
Dalam iklan rokok, mesti memiliki beberapa unsur yang
saling mendukung satu sama lain. Kita ambil contoh, iklan rokok Guadang Garam
Internationa. Di berbagai media massa, sering kita jumpai iklan-iklan tentang
rokok Gudang Garam International dengan berbagai macam konteks yang ditawarkan.
Namun, apa yang ditampilkan dengan berbagai macam konteks tersebut, secara
fundamental tentu tidak terlepas dari sifat dan tujuan iklan itu sendiri.
Gambar 1: Iklan Rokok Gudang Garam International
Dokumentasi: Akses internet, april 2016
Dari gambar di atas, gambar 1, dapat diuraikan
tentang semiotika tingkat satu atau denotasi, yakni apa yang unsur-unsur atau elemen-elemen
yang ditampilkan pada iklan tersebut, yakni pria dengan tas ransel ala pendaki,
warna merah sebagai symbol pemberani, mobil Jeep, pemandangan (suasana
pegunungan), logo gusang garam (umum) dengan penambahan kata International, tulisan “SEORANG PRIA”
sebagai ad headline atau headline, tulisan “PERLU LEBIH DARI
PETUALANGAN UNTUK JADI” sebagai sub
headline, “PRIA PUNYA SELERA” sebagai sologan utama pada iklan rokok Gudang
Garam, dan tulisan “MEROKOK MENYEBABKAN SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI, DAN GANGGUAN
KEHAMILAN DAN JANIN” sebagai peringatan bahaya merokok.
2.
Semiotika
Tingkat kedua (Konotasi)
Mengenai iklan rokok, dengan analisis semiotika tingkat dua atau
konotasi, sebagaimana denotasi merupakan signifikasi tahap kedua atau pemaknaan. Satuan-satuan
dalam sistem konotasi berbeda dengan system denotasi. satu satuan dalam sistem
konotasi dapat dibentuk dari sejumlah satuan dan wacana denotatif. Untuk membahas tentang system
konotasi dari iklan rokok, maka di sini akan diambil satu contoh iklan rokok,
yakni Sampoerna Hijau.
Gambar 2: Iklan Rokok Sampoerna Hijau
Dokumentasi: Akses internet, april 2016
Adapun makna konotasi yang
tercantum dalam iklan Sampoerna Hijau, Seperti yang terlihat pada gambar 2, yakni iklan rokok
dengan menampilkan tiga orang yang duduk bersama di atas kursi yang kecil dan
pendek, namun ketiganya tetap memilih untuk duduk di atas kursi tersebut
bersama-sama walaupun sempit, kemudian
ditambahkan dengan pemberian body teks, yakni
“SEMPIT KARENA BADAN LONGGAR KARENA TEMAN”. Hal ini mengandung
suatu makna konotasi bahwa teman merupakan sesuatu yang urjen dalam kehidupan.
Selain itu, pada iklan rokok Sampoerna Hijau yang sering ditampilkan di media
massa, terdapat beberapa macam sologan, seperti: teman yang asyik, gak ada loe gak rame, serta
beberapa sologan lainnya dengan tema yang sama yaitu “teman atau pertemanan”
memiliki konotasi yang mampu menciptakan suasana perteman yang harmonis sebagai
nilai filosofis pertemanan itu sendiri.
Adapun mengenai sologan-sologan tersebut, yang
kemudian ditransfer kedalam iklan rokok Sampoerna Hijau, memberikan suatu
interpretasi di mana rokok mampu membebaskan kita dari kegalauan, kesunyian,
dst, dengan menjadikan “teman” sebagai obat penawarnnya. Demikian, sebab rokok Sampoerna Hijau dalam hal ini ketika
orang-orang yang merokok saling berkumpul, bercerita, ataupun saling berbagi,
mesti diiringi dengan kegiatan merokok. Terlebih lagi, dari beberapa
sologan-sologan lainnya, mengandung hal-hal yang menawarkan kenikmatan, keren, hingga mengandung hal-hal yang fantastik mealaui proses menjalin kebersamaan dalam
pertemanan. Hal ini, kemudian menjadi suatu sifat otentik yang terdapat dalam
iklan rokok Sampoerna Hijau, yakni selalu menampikan sesuatu yang memiliki
nilai kebersaman dalam bentuk pertemanan.
Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa makna konotasi dari iklan rokok Sampoerna Hijau, yakni suatu
kenikmatan, baik kenikmatan dari segi kebersamaan dalam pertemanan maupun
kenikmatan yang akan dirasakan ketika mengkonsumsi rokok (Sampoerna Hijau).
Namun, di sini perlu digaris bawahi, bahwa “mitos” memilki peran penting dalam
iklan rokok, baik Sampoerna Hijau mapun ilkan rokok lainnya. Demikian, karena
melauli mitoslah pesan yang terkandung dalam iklan rokok itu dapat sampai
kepada penerima tanda, yakni penonton atau interpretant.
D. Kesimpulan
Dari uraian di
atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa semiotika tingkat pertama atau denotasi
pada iklan rokok adalah segala unsur atau elemen yang terdapat pada iklan rokok
itu sendiri, yakni apa yang tampak secara kasat mata atau yang ditangkap oleh
panca indera dalam bentuk visual yang kemudian ditampilkan pada iklan-iklan
rokok.
Kemudian, adapun semiotika tingkat kedua atau konotasi
dari iklan rokok, adalah makna konotasi yang terkandung secara keseluruhan dari
jalinan antara unsur atau elemen yang terdapat pada iklan rokok itu, yakni
mitos akan kenikmatan-kenikmatan yang dirasakan atau didapatkan ketikan manusia
mengkonsumsi rokok. (Suherman, 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan dikomentari...