Kamis, 29 Desember 2016

Analisis Hipogram Iklan Rokok: Semiotika Tingkat Pertama dan Tingkat Kedua

A.    Pendahuluan
ROKOK adalah salah satu barang konsumsi yang sejak dari dulu sudah menjadi kebutuhan beberapa kalangan masyarakat, khuasunya kaum pria. Berbicara mengenai rokok, kini sudah banyak bertaburan berbagai macam rokok dengan berbagai macam rasa. Selain itu, roko dalam bentuk kemasan pun sudah beragam. Mulai dari GM, Mustang, Surya, Gudang Garam, Class Mild, Pro Mild, Sampoerna, dan masih banyak yang lainnya. Bahkan seiring perkembangan zaman, rokok pun mengalami perubahan yang cukup signifikan.
Dahulu, rokok hanya bisa dinikmati dengan cara membakar potongan-potongan filter yang berisi cengkeh, tembakau, yang kemudian diolah dengan menambahkan bahan yang memiliki daya tarik utuk memberikan kenikmatan-kenikmatan saat menghisap rokok. Namun, seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, kini rokok pun sudah bisa dinikmati tanpa menggunakan api seperti jenis produk rokok konvensional. Di berbagai daerah, sudah banyak dijual rokok yang bisa dicas (rokok eletronik) atau rokok yang dibakar dengan menggunakan tenaga baterai. Selain itu, rokok eletronik dianalisir relatif lebih hemat, karena bisa diisi ulang dengan menggunakan tenaga listrik. Rokok sejenis ini, pertama ditemukan pada tahun 2003 oleh SBT Co Ltd (sebuah perusahaan berbasis Beijing, RRC).
Sebagaimana dalam realitas sosial budaya masyarakat, khususnya di Indonesia, rokok telah menjadi bahan konsumsi yang tidak sedikit diminati masyarakat. Rokok telah menjadi semacam universalisme dalam gaya hidup (live style) budaya manusia. Terlepas dari pemahaman masyarakat secara umum, iklan produk atau kemasan rokok terlihat konyol dan lucu, namun di situ muncul adanya ‘kehidupan’. Dari adanya ‘kehidupan’ inilah, maka konsumen justru bertanya-tanya: “apa maksud dari ditampilkannya narasi kecil dalam iklan rokok itu sendiri?”. Jawabannya adalah realitas sebuah ambiguitas, yang kemudian dari sinilah muncul estetika yang hidup (Sunarto, 2016:312-315). Bagaimanapun, dalam produksi rokok, tentunya iklan menjadi sentral agar produk rokok semakin diminati masyarakat.
Lajunya industrialisasi secara global pada perkembangan zaman dewasa ini, menuntut dunia industri untuk lebih kreatif dalam mempromosikan produk-produk yang ditawarkan. Tak terkecuali produk rokok. Sejauh ini, iklan-iklan rokok pun sering kita jumpai, baik di televisi, majalah, koran, dan berbagai macam media komunikasi lainnya. iklan rokok yang sering hadir di media, tentunya tidak terlepas dari kenikmatan-kenikmatan yang ditawarkan, yang kemudian menerobos masuk pada wilayah logika rasa. Yang lebih menarik perhatian dan terkadang membingungkan, beberapa produk rokok, memasang atau menampilkan iklan yang secara kasat mata tampak tidak memiliki relasi antara objek (yang diiklankan) dengan apa yang ditampikan. Inilah dunia pasca modern (postmodern).
Menurut Jean Baudrilliar (1929-2007), hal semacam ini adalah salah satu ciri yang menonjol pada perkembangan kebudayaan postmodern, di mana penampakan terkadang jauh dari realitas sesungguhnya. Kebudayaan postmodern lebih mengutamakan penanda ketimbang petanda, media ketimbang pesan, fiksi ketimbang fakta, sistem tanda ketimbang sistem objek, serta estetika ketimbang etika. Selain itu, kebudayaan postmodern merupakan dunia simulasi yang terbangun dengan pengaturan tanda, citra dan fakta melalui produksi dan reproduksi serta tumpang tindih dan berjalin kelindan, yang kemudian menjadi suatu konsekuensi dengan ditandai oleh sifat hiperrealitas, di mana citra dan fakta bertubrukan dalam satu ruang kesadaran yang sama. Realitas semu (citra) mengalahkan realitas sesungguhnya (fakta) (Sunarto, 2014:44).
Di era postmodernisme seperti saat ini, Fenomena karya seni dalam bentuk iklan-iklan komersial begitu menarik perhatian untuk dibahas. Iklan rokok merupakan salah satu daintaranya. Khususnya di Indonesia pasca tahun 2000, iklan semua produk rokok mengalami perkembangan yang cukup menarik dari sisi filosofis, dimana di dalam iklan rokok terjadi ‘peperangan’ ideologi yang jelas terlihat dan kemungkinan besar akan terus terjadi (Sunarto, 2016:311). Namun terlepas dari hal ini, dalam kajian semiotika, dimana dalam semiotika atau ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda, dikenal adanya semiotika tingkat pertama (denotasi) dan semiotika tingkat kedua (konotasi). Dengan demikian, iklan rokok dengan berbagai bentuk, tentunya tidak terlepas dari kedua sistem tanda itu.
Oleh sebab itu, dalam artikel ini akan diuraikan tentang bagaimana sistem tanda bekerja pada iklan rokok. Dalam hal ini, mengenai denotasi dan konotasi, atau yang biasa disebut semiotika tingkat pertama dan tingkat kedua). Sebagaimana, dalam ilmu tanda atau semiotika, dikenal adanya denotasi dan konotasi. Roland Barthes (1915-1980) yang meneruskan teori semiotika Saussure, menekankan bahwa denotasi adalah sistem signifikasi tingkat pertama, sedangkan konotasi adalah sistem signifikasi tingkat kedua. Anatara denotasi dan konotasi, adalah suatu yang berbeda, namun antar keduanya pun sangat bertalian atau berkaitan. Denotasi merupakan sebuah penanda (signifier), sementara konotasi adalah petanda (signified) (lihat Zoest, 1993).

B.       Semiotika Roland Barthes (1915-1980)
Roland Barthes (1959-1980) adalah seorang ahli semiotika dan kritikus sastra. Pria kelahiran Cherbourg, Paris ini, dalam pemikiran awalnya melihat kehidupan sosial dan kultural dalam bingkai kerangka tanda, dan dari sini dalam bingkai kerangka beberapa sifat objek yang tidak bersifat essensial. Karya-karya Roland Barthes sangat beragam. Karyanya berkisar dari teori semiotika, esai kritik sastra, pemaparan tulisan historis Jules Mihelet sehubungan dengan obsesinya, telaah psikobiografis tentang Racine yang menggusarkan kelompok tertentu dalam sastra Perancis, seperti juga karya-karya yang lebih bersifat pribadi tentang kepuasan dalam wacana, cinta, dan fotografi (Sunarto, 2016: 41).
Semiotika Barthes memiliki bahasa yang tersusun atas dua tingkatan bahasa, yaitu bahasa tingkat pertama adalah bahasa sebagai obyek dan bahasa tingkat kedua yang disebut dengan metabahasa (lihat kurniawan, 2001). Didalam konsep semiotika Barthes, denotasi yaitu makna paling nyata dan tampak dari sebuah tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua atau pemaknaan. Hal ini terwujud  interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan makna dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya.
Konotasi mempunyai makna yang subjektif dengan kata lain, denotasi adalah apa yang tampak dari tanda terhadap sebuah objek, sedangkan konotasi adalah bagaimana menyampaikan maknanya. Sejumlah tanda denotasi bisa berkelompok untuk membentuk suatu konotator asalkan yang disebut terakhir ini memiliki suatu petanda konotasi; dengan kata lain, satuan-satuan dalam sistem konotasi itu tidak mesti sama lusanya dengan sistem denotasi; satu satuan dalam sistem konotasi dapat dibentuk dari sejumlah satuan dan wacana denotatif (Barthes, 2012:93).

C.    Iklan Rokok dalam Semiotika Tingkat Pertama (Denotasi) dan Tingkat Kedua (Konotasi)
1.      Semiotika Tingkat pertama (Denotasi)
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa denotasi merupakan system signifikasi tingkat pertama, atau semiotika tingkat pertama, dalam hal ini denotasi merupakan sebuah penanda (signifier). Iklan rokok dalam analisis semiotika tingkat pertama atau denotasi, adalah unsur-unsur atau elemen-elemen yang membangun system tanda dalam iklan rokok itu sendiri.
Dalam iklan rokok, mesti memiliki beberapa unsur yang saling mendukung satu sama lain. Kita ambil contoh, iklan rokok Guadang Garam Internationa. Di berbagai media massa, sering kita jumpai iklan-iklan tentang rokok Gudang Garam International dengan berbagai macam konteks yang ditawarkan. Namun, apa yang ditampilkan dengan berbagai macam konteks tersebut, secara fundamental tentu tidak terlepas dari sifat dan tujuan iklan itu sendiri.
                
            Gambar 1: Iklan Rokok Gudang Garam International
   Dokumentasi: Akses internet, april 2016

Dari gambar di atas, gambar 1, dapat diuraikan tentang semiotika tingkat satu atau denotasi, yakni apa yang unsur-unsur atau elemen-elemen yang ditampilkan pada iklan tersebut, yakni pria dengan tas ransel ala pendaki, warna merah sebagai symbol pemberani, mobil Jeep, pemandangan (suasana pegunungan), logo gusang garam (umum) dengan penambahan kata International, tulisan “SEORANG PRIA” sebagai ad headline atau headline, tulisan “PERLU LEBIH DARI PETUALANGAN UNTUK JADI” sebagai sub headline, “PRIA PUNYA SELERA” sebagai sologan utama pada iklan rokok Gudang Garam, dan tulisan “MEROKOK MENYEBABKAN SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI, DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN” sebagai peringatan bahaya merokok.

2.      Semiotika Tingkat kedua (Konotasi)
Mengenai iklan rokok, dengan analisis semiotika tingkat dua atau konotasi, sebagaimana denotasi merupakan signifikasi tahap kedua atau pemaknaan. Satuan-satuan dalam sistem konotasi berbeda dengan system denotasi. satu satuan dalam sistem konotasi dapat dibentuk dari sejumlah satuan dan wacana denotatif. Untuk membahas tentang system konotasi dari iklan rokok, maka di sini akan diambil satu contoh iklan rokok, yakni Sampoerna Hijau.
             
Gambar 2: Iklan Rokok Sampoerna Hijau
Dokumentasi: Akses internet, april 2016

Adapun makna konotasi yang tercantum dalam iklan Sampoerna Hijau,  Seperti yang terlihat pada gambar 2, yakni iklan rokok dengan menampilkan tiga orang yang duduk bersama di atas kursi yang kecil dan pendek, namun ketiganya tetap memilih untuk duduk di atas kursi tersebut bersama-sama walaupun sempit, kemudian ditambahkan dengan pemberian body teks, yakni SEMPIT KARENA BADAN LONGGAR KARENA TEMAN. Hal ini mengandung suatu makna konotasi bahwa teman merupakan sesuatu yang urjen dalam kehidupan. Selain itu, pada iklan rokok Sampoerna Hijau yang sering ditampilkan di media massa, terdapat beberapa macam sologan, seperti: teman yang asyik, gak ada loe gak rame, serta beberapa sologan lainnya dengan tema yang sama yaitu “teman atau pertemanan” memiliki konotasi yang mampu menciptakan suasana perteman yang harmonis sebagai nilai filosofis pertemanan itu sendiri.
Adapun mengenai sologan-sologan tersebut, yang kemudian ditransfer kedalam iklan rokok Sampoerna Hijau, memberikan suatu interpretasi di mana rokok mampu membebaskan kita dari kegalauan, kesunyian, dst, dengan menjadikan “teman” sebagai obat penawarnnya. Demikian, sebab rokok Sampoerna Hijau dalam hal ini ketika orang-orang yang merokok saling berkumpul, bercerita, ataupun saling berbagi, mesti diiringi dengan kegiatan merokok. Terlebih lagi, dari beberapa sologan-sologan lainnya, mengandung hal-hal yang menawarkan kenikmatan, keren, hingga mengandung hal-hal yang fantastik mealaui proses menjalin kebersamaan dalam pertemanan. Hal ini, kemudian menjadi suatu sifat otentik yang terdapat dalam iklan rokok Sampoerna Hijau, yakni selalu menampikan sesuatu yang memiliki nilai kebersaman dalam bentuk pertemanan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa makna konotasi dari iklan rokok Sampoerna Hijau, yakni suatu kenikmatan, baik kenikmatan dari segi kebersamaan dalam pertemanan maupun kenikmatan yang akan dirasakan ketika mengkonsumsi rokok (Sampoerna Hijau). Namun, di sini perlu digaris bawahi, bahwa “mitos” memilki peran penting dalam iklan rokok, baik Sampoerna Hijau mapun ilkan rokok lainnya. Demikian, karena melauli mitoslah pesan yang terkandung dalam iklan rokok itu dapat sampai kepada penerima tanda, yakni penonton atau interpretant.

D.    Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa semiotika tingkat pertama atau denotasi pada iklan rokok adalah segala unsur atau elemen yang terdapat pada iklan rokok itu sendiri, yakni apa yang tampak secara kasat mata atau yang ditangkap oleh panca indera dalam bentuk visual yang kemudian ditampilkan pada iklan-iklan rokok.
Kemudian, adapun semiotika tingkat kedua atau konotasi dari iklan rokok, adalah makna konotasi yang terkandung secara keseluruhan dari jalinan antara unsur atau elemen yang terdapat pada iklan rokok itu, yakni mitos akan kenikmatan-kenikmatan yang dirasakan atau didapatkan ketikan manusia mengkonsumsi rokok. (Suherman, 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan dikomentari...